Jumat, 10 Agustus 2012

BAHASA BALI PART II


Artikel ini kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas masalah kata swadesh dalam bahasa bali. 

K.
Kabut = kabut, aus
Kaki = batis, cokor
Kamu = cai, ragane
Kanan = tengawan
Kata = keruna
Kecil = cenik, alit
Kelahi = siat, yuda
Kepala = duur, sirah, prabu
Kering = tuh
Kiri = kebot, tengedel
Kotor = daki, kotor
Kuku = kuku, naka
Kulit = kulit
Kuning = kuning,  gading
Kutu = kutu

L.
Lain = len, liyan
Laut = pasih, segara
Lebar = linggah, jembar
Leher = baong, kanta
Lelaki = muani, lanang
Lempar = entungang, sabat
Licin = belig
Lidah = layah
Lihat = iwasin, tingalin
Lima = lima, panca
Ludah = paes
Lurus = benang
Lutut  = entut
M.
Main = main, melali
Makan = madaar, ngajeng, ngerayunin
Malam = peteng, wengi
Mata = mata, penyingakan
Matahari = matarai, surya
Mati = mati, seda
Merah = bang, barak
Minum = nginum
Mulut = bungut, cangkem
Muntah = ngutah
N.
Nama = adan, wastan, parab
Napas = angkihan
Nyanyi = magending

O.
Orang = anak
P.
Panas = panes
Panjang = dawa, panjang
Pasir = pasir, bias
Pegang = gisi, gamel
Pendek = bawak
Perempuan = luh, istri
Perut = basang, weteng, waduk
Pikir = keneh
Pohon = punyan
Potong = tugel
Pusar = pusat, pungsed
Putih = putih

R.
Rambut = bok, rambut
Rumput = padang, rumput

S.
Satu  = besik, siki
Sayap = kampid, sayap
Sedikit = abedik, akedik
Sempit = cupit
Semua = onya, makejang
Siang = tengai, siang
Sungai = tukad
T.
Tahu (me-i) = nawang, uning
Tahun = tahun, warsa
Tajam = lanying, mangan
Takut -= takut
Tali = tali
Tanah = tanah, lemah
Tangan = lima, tangan
Tarik = kedeng
Tebal = tebel
Telinga = telinga, krona
Telur = taluh
Terbang = makeber
Tertawa = kedek, ica
Tetek = nyonyo, susu
Tidak = tusing, nenten
Tidur = pules, masare, makolem
Tiga = telu, tiga
Tikam = tabek, tawek
Tipis = tipis
Tiup = upin
Tongkat = tungked
Tua = tua, lingsir
Tulang = tulang
Tumpul = puntul

U.
Ular = lelipi
Usus = usus

BAHASA BALI PART I

Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombokbagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang
berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa.

di bawah ini saya kutipkan beberapa kata swadesh dalam bahasa bali kasar dan halus :

A.

abu = awu
air = yeh, toya
akar = akah
alir (me) = kamelar
anak = panak, pianak, oka, putra
angin = anginm udara
anjing = cicing, asu
apa = apa, api
api = api, agni
apung (me) = kamonang
asap = andus, asep
awan = ambun
ayah = bapa, aji

B.

bagaimana = ken-ken, asapunapi
baik = luung, becik
bakar = tunjel
banyak = liyu, katah, akeh
baru = anyar
basah = belus
batu = batu, watu
benar = beneh, patut
bengkak = beseh
benih = bibit
berat = baat, abwat
berenang = ngelangi
beri = baang, icen
berjalan = majalan, mamargi
besar = gede, ageng
binatang = buron
bintang = bintang, lintang
buah = buah, woh
bulan = bulan
bulu = bulu
bunga = bunga, kembang
bunuh = matiang, sedaang
berburu = boros
buruk = jelek
burung = kedis, paksi
busuk = berek

C.

cacing = cacing
cium = diman

D.

daging = be, ulam
dan = lan
danau = danu
darah = getih, rah
datang = teka, rauh
daun = don, ron
debu = abu, awu
deket = peak, perek
dengan = teken
di dalam = di tengah, ring jero
dimana = dija, ring dija
disitu = ditu, derika
disini  = dini, deriki
dingin = dingin
dorong = sogok, surung
dua = dadua, kalih
duduk = negak, melinggih

E.
ekor = ikuh, ikut
empat = pat-pat, catur

G.

garam = uyah, tasik
gemuk = mokoh, embuh
gigi = gigi, untu, waja
gigit = gut-gut
gosok = gosok
gunung = gunung, giri

H. 

hantam = antem
hapus = usap
hati = hati, ati
hidung = cunguh, irung
hidup = idup, urip
hijau = gadang, ijo
hisap = isep
hitam = badeng, selem
hitung = itung
hujan = hujan, sabeh
hutan = alas, wana

I.

ia = ia, ipun
ibu = meme, biyang
ikan = be
ikat = tegul
ini = ene, niki
itu = ento, nika

J.

jahit = jait, jarit
jantung = jantung
jatuh = ulung, runtuh
jauh = joh, adoh
Bersambung !!!!!










Minggu, 05 Agustus 2012

SEJARAH INFRASTRUKTUR YANG TERLUPAKAN


Berbicara mengenai kajian sejarah, memang tidak dapat terlepas dari yang dinamakan unsur sejarah dan batasannya. Yang menjadi unsur dalam sejah tentu saja masa lampau dan proses. Sedangkan batasan dalam sejarah adalah dimensi ruang dan waktu. Dengan melihat unsure dan batasan inilah seorang sejarawan dapat menulis suatu sejarah. Apabila digambarkan ternyata sejarah itu tidak hanya “mandheg” dalam satu kajian saja, namun sejarah dapat menulis semua yang melingkupi kehidupan manusia. Sebagai contoh misalnya sejarah kawasan, sejarah kehidupan sehari-hari, sejarah budaya masayarakat, sejarah manusia dan semua aspek yang melingkupinya seperti aspek politik, ekonomi, sosial, dan sejarah yang jarang ditulis orang  misalnya sejarah bangunan atau infrastruktur yang lain.
Tulisan mengenai sejarah bangunan dan infrastruktur yang lain ternyata masih jarang diperhatikan, padahal itu merupakan hal yang tidak dapat terlepas dari sejarah kehidupan manusia. Yang menjadi permasalahan dalam artikel ini adalah bangunan atau infrastruktur lain dalam tulisan sejarah Indonesia. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa sejarah tentang infrastruktur ini jarang diketemukan?
Sebelum masuk jauh dalam tulisan ini terlebih dahulu dicari konsep dari infrastruktur. Infrastruktur adalah semua hal yang bernilai penting bagi kelancaran kegiatan manusia entah itu jalan, jembatan, bangunan-bangunan dan lain-lain. Dari pengertian konsep inilah dapat diketahui bahwa yang dinamakan sejarah infra struktur itu meliputi sejarah jalan, sejarah bangunan dan semua benda dinamakan mati yang lain. Semua infrastruktur jangan kira tidak mempunyai sejarahnya. Apa yang dinamakan jalan misalnya pasti mempunyai sejarahnya tersendiri. Sebagai contoh jalan tunjungan di Surabaya. Dari sejarah jalan ini dapat digunakan untuk melakukan penafsiran terhadap kondisi ekonomi masyarakat Suabaya pada masa itu. Jalan adalah jalur dimana orang melakukan mobilisasi atau gerak, sehingga dapat dilihat siapa saja yang melintasi jalan ini. Seberapa yang yang melintas dengan berjalan kaki, dengan sepeda, atau dengan mobil. Apabila jumlah pejalan kaki lebih banyak dapat diperkirakan bahwa kondisi masyarakat Surabaya pada waktu itu sedang mengalami depresi. Akan tetapi perlu diingat sebagai seorang sejarawan tidak boleh menafsirkan secara serampangan atau asal-asalan saja, boleh jadi berjalan kaki untuk melakukan mobilisasi itu adalah hal yang sudah umum di dalam kehidupan masyarakat Surabaya misalnya. Dengan melihat jalan itu juga dapat digunakan untuk melihat sejarah transportasi. Bagaimana tansportasi itu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Selain jalan, infrastruktur lain seperti gedung atau bangunan-bangunan kuno juga dapat menggambarkan tentang kemajuan teknologi yang berkembang pada masa itu dan dapat juga untuk melihat kondisi masyarakat di sekeliling bangunan itu juga. Sebagai contoh adanya gedung sociateit di kota S. Dari sini dapat dimunculkan pertnyaan penelitian mengapa gedung sociateit ini dibangun di kota S, kok tidak di kota T. Pertanyaan ini pasti akan memunculkan respon atau jawaban baru yang menjelaskan mengapa gedung itu dibangun di kota S karena masyarakat di kota S menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan hiburan, atau karena masyarakat di kota T sangat religius sehingga ada penolakan dari masyarakat sekitar misalnya demikian.
Kembali kepada pertanyaan penelitian, mengapa jarang diketemukan tulisan mengenai sejarah infrastruktur dalam karya sejarah Indonesia. Yang dinamakan tulisan sejarah itu pasti mengambil dokumen-dokumen yang tertulis, sedangkan okumen yang menjelaskan mengenai infrastrktur itu dapat dikatakan sangat kurang, sehingga para sejarawan merasa enggan untuk menulis sejarah ini. Selain itu tujuan utama pada awal penulisan sejarah Indonesia adalah untuk memperadabkan bangsa Indonesia, karena ada semacam pameo sejarah memperlihatkan peradaban selain untuk memperkuat patriotisme tentunya. Sehingga penulisan sejarah pada awalnya hanya menjelaskan peristiwa-peristiwa besar dan meninggalkan peristiwa kecil yang dianggap kurang penting dalam kesejarahan di Indonesia. Namun sebenarnya dari peristiwa kecil inilah memunculkan peristiwa besar itu sendiri.
Selain hal di atas, kurangnya tulisan sejarah mengenai sejarah infrastruktur itu dikarenakan kurangnya minat para sejarawan untuk mengupas hal ini ebih jauh dan mungkin ada anggapan, “aah….ngapain harus menulis sejarah kayak gitu, nggak penting”. Kata-kata semacam itu sering terlontar dari mulut kita sebagai seorang  sejarawan. Dengan berbicara demikian secara tidak sadar ternyata kita sudah melupakan sesuatu yang sangat penting dalam kesejarahan inonesia. Sehingga mulai dari sekarang kita harus sadar bahwa sesuatu yang dianggap tidak penting ternyata mempunyai implikasi yang cukup besar.
Kesimpulan dari artikel ini adalah masih banyak sejarah Indonesia yang belum terkuak terutama yang berhubungan dengan sejarah infrastruktur yang meliputi jembatan, jalan, gedung-gedung dan lain-lain. Meskipun sudah ada yang menulis tentang sejarah kota lama di Indonesia, namun dalam pendeskripsian sejarahnya belum maksimal. Hal ini adalah tugas sejarawan sekarang untuk menulis sejarah yang terlupakan ini lebih serius lagi.

POSISI PEREMPUAN DALAM KESEJARAHAN INDONESIA


Dalam karya sejarah Indonesia sangat sedikit bahkan jarang ditemukan tulisan-tulisan yang membahas mengenai perempuan secara menyeluruh. Kalau pun ada, hanya membahas hal-hal yang sifatnya umum saja. Tulisan-tulisan yang membahas mengenai lembaga atau organisasi-organisasi perempuan khususnya pada masa kolonial dan peran yang lain selain dalam hal perpolitikan misalnya tidak banyak yang diungkap. Sebagian besar tulisan sejarah yang membahas tentang perempuan pasti hanya berkisar tentang prostitusi, perempuan penghibur, dan pada hal-hal yang negatif yang lain.
Permasalahan dalam artikel pendek ini adalah kedudukan atau posisi perempuan dalam sejarah Indonesia. Mau ditempatkan dimanakah sebenarnya perempuan dalam tulisan sejarah Indonesia? Mengapa para sejarawan terdahulu sangat mengesampingkan peran perempuan dalam kesejarahan Indonesia?
Cukup sulit memang untuk menjawab pertanyaan diatas karena sampai sekarang pun keadaan semacam itu masih terus berulang. Namun demikian, sekarang sudah banyak para sejarawan yang mau mengkaji tentang perempuan. Perempuan ternyata tidak dapat disingkirkan dalam kancah kesejarahan di Indonesia. Perempuan sebenarnya memiliki pengaruh yang kuat dalam pemerintahan. Jikalau dihitung-hitung ternyata organisasi-organisasi perempuan yang ada pada masa pemerintah kolonial sungguh lumayan banyak. Hal ini dapat diambil pengertian bahwa ternyata perempuan itu punya peran yang tidak sedikit. Akan tetapi, mengapa masih saja perempuan dalam tulisan sejarah tidak pernah dibahas secara gamblang.
peran perempuan itu pun tidak hanya dalam hal perpolitikan namun juga dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial dan budaya. Sebagai contoh, misalnya peran perawat perempuan Indonesia pada masa agresi militer belanda I dan II. Bagaimana peran para ibu dalam memberikan bekal pada saat perang tersebut dan lain-lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya masalah-masalah yang berhubungan dengan  perempuan itu cenderung lebih kompleks.
Hal serupa juga terjadi pada saat menulis sejarah Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Wanita yang sering diungkit-ungkit dalam tulisan ini pasti mempermasalasahkan wanita sebagai “Jugun Ianfu”, mengapa tidak membahas pengorbanan kaum wanita yang harus menjemur, menumbuk padi yang hanya diperuntukkan bagi orang Jepang.
Kembali pada permasalahan semula, bahwa  sungguh pelik memang dalam mengkaji perempuan ini. Sampai sekarang pun sedikit sekali para sejarawan Indonesia yang benar-benar mampu untuk membahas masalah perempuan ini, sehingga akibatnya tulisan yang membahas perempuan itu cukup sedikit.
Dapat dimakhlumi bahwa para sejarawan Indonesia terdahulu dalam menulis sejarah ini sangat berkeinginan untuk menebarkan dan membangkitkan perasaan patriotiosme terhadap bangsa dan Negara Indonesia. Namun apa yang dilakukan oleh mereka itu terasa sangat berlebihan dan cenderung melupakan masalah-masalah yang dianggap remeh atau sepele namun memiliki implikasi yang cenderung hebat.
Sekarang adalah tugas kita sebagai sejarawan. Sebagai seorang sejarawan harus benar-benar mengkaji semua masalah yang ada dalam kajian sejarah. Sehingga tidak ada sejarah yang dilupakan semacam sejarah perempuan Indonesia ini. 

SUMBER NON FORMAL DALAM PENELITIAN SEJARAH


Berbicara tentang sumber sejarah memang tidak akan pernah berhenti pada satu titik saja. Sumber sejarah sendiri dapat dibagi menjadi sumber formal dan non formal. Sumber formal dapat berupa laporan-laporan kolonial, arsip-arsip pemerintah, dan semua dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah, sedangkan sumber non formal berupa catatan harian, sejarah lisan, folklore, secarik kertas pun dapat menjadi sumber sejarah bila di dalamnya termuat bukti-bukti sejarah yang penting dan masih banyak lagi sumber non formal yang lain.
Dari kedua sumber sejarah tersebut diatas ternyata penggunaan sumber non formal belum dioptimalkan. Para sejarawan masih sungkan atau enggan menggunakan sumber non formal tersebut. Fenomena ini memang tidak dapat dipungkiri, karena sebagaian besar dari para sejarawan khususnya para sejarawan akademisi lebih fokus pada penggunaan sumber formal dibandingkan dengan non formal. Selain itu ada semacam anggapan bahwa catatan harian, kisah-kisah perjalanan itu tidak memiliki nilai yang lebih, sehingga para sejarawan cenderung mengesampingkan keberadaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya sejarawan yang masih sangat sedikit yang mencantumkan catatan harian, kisah perjalanan sebagai referensi karya-karya sejarahnya.
Apabila dilihat dari nilainya sumber formal maupun sumber non formal memiliki nilai yang sama-sama kuat. Sumber non formal dapat dijadikan sebagai pendukung atau penguat dari sumber sejarah yang formal. Sebagai contoh misalnya pada saat melakukan penelitian tentang perkebunan swasta di Jawa pada tahun 1890, otomatis sumber formal seperti arsip pemerintah menjadi prioritas utama sebagai sumber, namun apakah cukup hanya dengan melihat arsip yang terbatas informasinya tersebut? Tentu saja tidak, para sejarawan harus paham bahwa sumber non formal seperti catatan pribadi dari pemilik perkebunan perlu dilihat juga, karena dapat dimungkinkan informasi yang lebih akurat berasal dari catatan pribadi ini.
Sebagai contoh lain, misalnya pada saat melakukan penelitian mengenai sejarah lokal maka sumber-sumber non formal pasti diikutkan sebagai penguat atau pendukung sumber formal. Seorang sejarawan ingin meneliti tentang Kerajaan Buleleng di Bali misalnya, maka sejarawan tersebut tidak hanya melihat arsip-arsip kerajaan yang berupa perjanjian-perjanjian saja, namun juga dapat melihat beberapa sumber lain misalnya hukum adat yang dipakai, atau beberapa babad yang ada. Hampir semua karya babad di Bali entah dari Buleleng, Tabanan, Karang Asem atau daerah lain mempunyai data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun ada hal–hal fiktif yang ditampilkan, akan tetapi tidak mengubah nilai dari kisah sejarah dalam Babad tersebut. Seni tutur yang di daerah lombok disebut ‘Pakepung’ juga dapat dijadikan sebagai sumber sejarah karena di dalam seni tutur ini disampaikan sejarah lombok sejak dikuasai Singasari di jawa sampai Karang Asem, bali timur.

Melalui dekonstruksi sejarah ini, para seajarawan harus mulai sadar bahwa sumber sejarah itu ada dimana-mana, tidak hanya sumber formal yang resmi dikeluarkan pemerintah, namun juga sumber lokal yang tidak resmi pun dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Selain itu buku harian dari seseorang perwira, pegawai pemerintah atau rakyat kebanyakan pun dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Sejarah lisan juga jangan sampai dikesampingkan karena meskipun sering ada nilai kesubjektifan yang muncul tetap saja menjadi sumber data yang penting dalam mengungkap kejadian-kejadian atau peristiwa sejarah.

PENYEBAR ISLAM DI INDONESIA


Artikel pendek ini saya buat setelah membaca buku yang ditulis oleh H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud yang berjudul kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawa: kajian sejarah politik abad ke-15 dan ke-16.

Pelajaran sejarah sejak sekolah dasar hinnga sekolah menengah atas dalam membahas parapenyebar Islam di Indonesia pasti menyebutkan peran para pedagang Gujarat, India, Cina, atau Arab dan beberapa ulama dari asia barat. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa yang berperan dalam menyebarkan agama islam itu hanya kaum pedagang dan kaum ulama? Apakah tidak ada golongan yang lain?
Dalam setiap perdagangan yang berskala internasional tentu saja membutuhkan banyak sekali pegawai perkapalan atau dapat dikatakan para budak. perbudakan sekitar abad ke-15-16 memang masih berlaku. Berangkat dari fenomena ini, muncul semacam pertanyaan apakah para budak juga mempunyai peran dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Memang agak sulit menjawab pertanyaan diatas, namun apabila dirunut dari akidah, biasanya para budak itu lebih kuat agamanya daripada para pedagang. Para pedagang terkadang pula atau sering melalaikan ibadah karena sibuk dengan dagangannya. Dalam ajaran Islam terdapat semacam ajakan untuk menyebarkan Islam walaupun hannya satu ayat sekalipun.
Kalau membaca sejarah Islam, maka didapatkan semacam gambaran bahwa islam itu agamanya orang kecil, agamanya para budak, agamanya kaum yang dipinggirkan. Maka secara otomatis tingkat kedisiplinan dalam ibadahnya para budak itu cenderung lebih baik. Memang tidak dapat dipungkiri jika ada para budak yang tidak dapat menjalankan ibadahnya dengan baik karena harus bekerja, akan tetapi dapat diperkirakan jumlahnya relatif sedikit.
Pelayaran pada masa sebelum diketemukan mesin uap tentu saja masih bergantung pada angin muson barat dan timur. Jarak masa antara muson barat dan timur kurang lebih enam bulan. Melihat fakta ini maka tentu saja para pedagang, awak kapal, maupun para budak akan tetap tinggal sementara sambil menunggu pergantian angin muson tersebut. Dalam sejarah pun dijelaskan banyak dari para pedagang yang kemudian menikah dengan warga sekitar dan ada pula yang menyebarkan Islam.
Pertanyaan selanjutnya apakah yang dilakukan oleh para budak selagi menunggu pergantian angin muson ini. apakah mereka hanya terpaku pada tugas-tugas berat yang harus mereka tanggung ataukah juga ikut berperan dalam menyebarkan Islam. Kalau hanya bekerja terus tentu saja tidak mungkin. Jika berdasarkan hadist tersebut diatas yang menyebutkan setiap muslim wajib menyebarkan Islam walaupun hanya satu ayat, maka dapat diperkirakan para budak pun mempunyai peran dalam penyebaran Islam di Indonesia, yang menjadi masalah sekarang adalah mengenai fakta sejarahnya. Kalau penyebar dari para pedagang itu sudah mempunyai fakta sejarah yang akurat.
Terdapat Hadist lain yang pokok intinya adalah dilarang mencela seseorang yang mengajarkan suatu kebenaran, meskipun yang mengajarkan tersebut adalah budak Habsyi (Ethiopia) yang hidungnya rumpung. Berangkat dari bunyi hadist tersebut maka diperkirakan para pribumi juga mendapatkan ajaran Islam dari para budak.
Akan tetapi perlu diingat bahwa kedudukan para budak itu sangat rendah, maka tentu saja mereka sangat terbatas dalam proses penyebaran Islam ini. Mereka tentu saja tidak akan berani atau lancang memberi wejangan kepada para keluarga kerajaan, para bangsawan atau saudagar pribumi karena pada masa itu budak memang dianggap seperti hewan yang hanya diambil tenaganya untuk bekerja saja tnpa dibayar. Sehingga melihat kenyataan kedudukan sosial mereka yang sangat rendah, maka dapat diperkirakan mereka hanya mengajarkan islam pada sesama budak.
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah bahwa tidak hanya kaum pedagang saja yang berperan dalam penyebaran Islam di indonesia. Para budak pun dapat diperkirakan ikut berperan dala penyebaran Islam ini. Akan tetapi tetap saja terbentur pada kesahihan fakta sejarah, karena sampai sekarang belum ada tulisa tentang peran budak dalam penyebaran Islam di Indonesia. sehingga dapat dianggap sejarah itu hanya milik kaum terpelajar atau kaum yang mempunyai kedudukan tinggi dan mengesampingkan kaum lain yang kedudukannya lebih rendah.
Para sejarawan diharapkan lebih melihat subaltern, karena sejarah subaltern lebih kompleks dan lebih luas daripada hanya membahas mengenai sejarah-sejarah besar saja. Sejarah adalah milik semua golongan bukan hanya milik suatu golongan tertentu.


Sabtu, 04 Agustus 2012

HISTORY atau HIS STORY


Surat Kabar Kompas beberapa waktu yang lalu mengetengahkan sebuah artikel yang membahas persoalan historiografi di Indonesia. Artikel ini membahas salah satunya mengenai dominanya tokoh laki-laki dalam historiografi Indonesia. Jikalau sejarah itu milik kaum adam terus bagaimana kedudukan kaum hawa dalam kesejarahan Indonesia?
Memang sangat sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, karena sudah menjadi kebiasaan yang tidak dapat dielakkan bahwa sejarah Indonesia itu milik kaum adam. Dalam sejarah perang jawa misalnya pasti yang dibahas megenai bagaimana usaha Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dalam berperang melawan pemerintah kolonial, mengapa tidak membahas bagaimana kesibukan para wanita yang ikut mempersiapkan bahan logistik untuk perang ini. tidak mungkin yang mempersiapkan bahan logistik hanya kaum pria saja. Seterusnya dalam menulis sejarah ekonomi di Indonesia mengapa yang dibahas hanya kondisi perekonomian tidak membahas bagaimana sesosok wanita juga sangat berperan dalam perkembangan perekonomian di Indonesia.
Sebenarnya banyak sekali partisipasi kaum wanita dalam sejarah Indonesia, tetapi mengapa sangat sedikit yang membahasnya. Kalau pun toh ada, pasti hanya berkutat pada masalah yang melanggar tata susila seperti yang telah diungkapkan oleh Prof. Bambang Purwanto dalam bukunya “Gagalnya Historiografi Indonesiasentris”.
Sejak jaman kolonial wanita sudah dijadikan sebagai merk barang dagangan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa iklan di beberapa surat kabar yang terbit atau beredar pada masa itu pasti menampilkan sesosok wanita dengan pakaian yang sedikit seronok. Iklan yang sering bahkan selalu menampilkan wanita seperti itu biasanya merupakan iklan obat-obatan dari ramuan Cina. Contoh-contoh yang lain dapat dilihat dalam thesisnya Gayung Kesuma yang membahas mengenai sejarah sexualitas di Jawa pada abad XX.
Hal serupa juga terjadi pada saat menulis sejarah Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Wanita yang sering diungkit-ungkit dalam tulisan ini pasti mempermasalasahkan wanita sebagai “Jugun Ianfu”, apakah wanita hanya dijadikan sebagai pemuas kaum pria saja? mengapa tidak membahas pengorbanan kaum wanita yang harus menjemur, menumbuk padi yang hanya diperuntukkan bagi orang Jepang. Memang benar jika artikel dalam Kompas tersebut membahas sejarah adalah hanya milik kaum adam saja.
Maka apa yang dilakukan oleh Bu Mutiah Amini selaku sejarawan UGM mencoba untuk mengoreksi kembali kedudukan kaum wanita dalam karya sejarah Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Bu Mutiah ini memang sangat diharapkan untuk membangkitkan kembali semangat menulis sejarah perempuan.
Sekarang adalah tugas kita sebagai calon sejarawan, kia tidak boleh pilih-pilih dalam menulis sejarah. Sejarah bukan hanya sebagai milik kaum pria, kaum intelek. Sejarah adalah milik semua golongan masyarakat.

JEPANG DALAM SEJARAH INDONESIA


Pendudukan Jepang di Indonesia yang selama 3,5 tahun ini ternyata memberikan semacam dampak yang tidak sedikit bagi rakyat Indonesia. Dampak yang paling kentara adalah dalam hal militer dan adanya kerja paksa atau romusha.
Yang menjadi permasalahan dalam artikel ini adalah dampak positif pendudukan jepang di Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sejarah yang membahas masa pendudukan Jepang di Indonesia lebih mengarah pada hal-hal yang sifatnya negative ? apakah Jepang di Indonesia tidak mempunyai peran yang bernilai positif bagi bangsa Indonesia ?
Pada masa pendudukan Jepang apabila dirasakan memang sangat keras dan lebih kejam daripada kolonial Belanda. Hal ini dapat dimengerti bahwa orang Jepang itu mempunyai rasa kedisiplinan yang lebih dibanding dengan bangsa yang lain. Sifat kedisiplinan ini memang bagi rakyat Indonesia pada umumnya sangat kurang, sehingga pada masa pendudukan Jepang ini banyak rakyat Indonesia yang kaget dan sulit menerima pendudukan Jepang ini.
Dalam buku sejarah Indonesia baik untuk anak sekolah dasar ataupun sekolah menengah hampir semuanya berisikan bahwa Jepang itu penjajah yang kejam dan biasanya hanya membahas masalah militer, peperangan, kerja paksa, menanam jarak dan lain-lain yang sifatnya merugikan bangsa Indonesia.
Padahal sebenarnya tidak sesingkat ini, masih banyak aspek-aspek lain yang belum terungkap. Seperti misalnya pendidikan pada masa jepang, meningkatnya masalah urbanisasi di kota-kota besar dan lain-lain. Pendidikan pada masa jepang ini misalnya, murid-murid diajarkan tentang nilai-nilai kedisiplinan dan ada hal yang diubah seperti bahasa pengantar yang dipakai tidak lagi bahasa Belanda tapi bahasa Melayu. Selain dalam hal pendidikan ternyata dalam hal social kemasyarakatan juga terjadi perubahan dengan adanya tonarigumi, seperti yang ditulis oleh sejarawan Jepang Aiko Kurasawa.
Yang menjadi masalah sekarang adalah sumber. Sumber yang membahas tentang pendudukan Jepang di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya ternyata sangat sedikit dan kebanyakan berbahasa jepang dan tidak sedikit pula yang dirahasiakan. Tidak seperti arsip belanda yang mudah diakses, arsip jepang ini cenderung susah diakses, karena biasanya sudah ada pemberitahuan dari pemilik arsip tersebut untuk dirahasiakan.
Inilah yang menjadi masalah pokok dalam penulisan sejarah Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Dengan sedikitnya sumber jepang yang terungkap, tentu saja hal ini dapat memungkinkan adanya kesalahan penafsiran dalam penulisan sejarah jepang di Indonesia.
          Kesimpulan dari artikel ini adalah ternyata jepang pada waktu menduduki Indonesia juga mempunyai peran positif seperti yang telah dijelaskan di atas. kurangnya pengetahuan mengenai sumber-sumber sejarah yang berkenaan dengan pendudukan jepang di Indonesia inilah yang menyebabkan sangat sedikitnya tulisan sejarah Indonesia yang membahas masa pendudukan jepang secara menyeluruh. 

SEJARAWAN Antara Hak dan Kebijakan Pemerintah


Setiap bangsa di dunia ini pasti mempunyai sejarahnya sendiri. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah sebenarnya pengertian sejarah itu? Banyak pendapat-pendapat dari para sejarawan atau golongan terpelajar lain mengenai pengertian sejarah. Secara mudah sejarah dapat diartikan sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah setiap peristiwa masa lampau itu termasuk sejarah? Prof. Bambang Purwanto, selaku guru besar ilmu sejarah UGM, mengatakan bahwa tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa lampau itu termasuk sejarah sampai peristiwa tersebut diangkat untuk ditulis. Semua pendapat-pendapat yang dilontarkan para sejarawan atau golongan terpelajar lain ini tidak ada yang didiskualifikasi atau diabaikan, meskipun sering terjadi bantahan antara pendapat satu dengan pendapat yang lain.
Penulisan sejarah tentu saja tidak akan terlepas dari peran sejarawan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena hanya para sejarawanlah yang dapat mengungkapkan semua peristiwa-peristiwa sejarah secara jelas dengan metode dan metodologi yang dimilikinya. Akan tetapi sejarawan yang notabene sebagai elit negara terkadang tidak dapat mengungkapkan semua hasil penelitiannya itu secara obyektif. Para sejarawan biasanya dituntut untuk mengikuti suatu tatanan yang dibuat oleh Negara. Oleh karena itu tidak sedikit hasil dari penelitian para sejarawan itu harus dihilangkan karena dapat membuat legitimasi  suatu Negara itu goyah.
Para sejarawan kini berada pada dua pilihan yang berseberangan. Di satu sisi, sebagai seorang sejarawan mempunyai hak untuk mengungkapkan  hasil penelitiannya dengan sebenar-benarnya. Di sisi yang lain para sejarawan juga dituntut untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat pemerintah. Kondisi ini memang sungguh ironis. Namun ternyata ada juga sejarawan yang mencoba untuk tidak terikat dengan peraturan yang dibuat pemerintah. Pramudya contohnya, beliau adalah seorang yang dapat dikatakan sebagai sastrawan sejarah. Beliau dalam setiap membuat karyanya pasti berkutat masalah sejarah. Pramudya sendiri sudah pernah dipenjara pada masa Orde Baru karena dalam setiap gagasanya itu selalu mengkritik kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.selain masalah kritikanya tersebut ternyata gagasan yang dilontarkan olehnya cenderung bernada sosialis, yang notebene paham ini sangat dilarang pada masa Orde Baru ini.
Keterkaitan antara elit pmerintah dengan sejarawan ternyata sudah berlangsung lama. Di dunia barat misalnya, tidak sedikit para elit menyewa bahkan membeli sejarah demi memperoleh legitimasi. Oleh karena itu mau tidak mau para sejarawan harus mengikuti kebijakan pemerintah tersebut meskipun menyimpang dari hal yang sebenarnya. Di Indonesia khususnya Jawa, penulisan sejarah sudah muncul sejak jaman kerajaan. Penulisan sejarah ini tentu saja tidak dapat terlepas dari campur tangan penmerintah kerajaan. Bagi pujangga kerajaan yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah biasanya akan disingkirkan atau dikeluarkan dari wilayah kerajaan karena dianggap sebagai penentang pembelot terhadap pemerintah kerajaan.
Hal tersebut diatas mengakibatkan sangat sedikit sejarah yang bersifat obyektif, bahkan nyaris tidak ada. Ketidakobyektifan hasil sejarah ini selain dipengaruhi kebijakan pemerintah juga disebabkan oleh pendapat atau anggapan dari hipotesa sejarawan itu sendiri.
 Kembali ke masalah semula, keterkaiatan anatara elit pemerintah dengan para sejarawan sudah menjadi semcam budaya yang sangat sulit untuk dilepaskan, kecuali dengan terobosan-terobosan baru. Para sejarawan seharusnya sadar bahwa sejarah itu bukanlah sebagai dongengan belaka, tetapi sejarah juga dapat dijadikan sebagai cermin dalam kehidupan. Jikalau sejarah hanya ditulis berdasarkan kebijakan pemerintah yang cenderung hanya mengorek hal-hal yang baik saja dan mengesampingkan peristiwa kegagalan secara otomatis hal tersebut menghambat perkembangan kemajuan suatu bangsa itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan diatas tadi bahwa sejarah dapat dijadikan sebagai cermin untuk mengevaluasi peristiwa yang telah terjadi pada masa sebelumnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang sejarawan harus menempatkan diri sebagai seorang sejarawan. Sejarawan tidak boleh menyembunyikan satu atau lebih dokumen sejarah, karena sejarah itu sangat penting, entah itu bagi suatu kaum, suatu bangsa, atapun kelompok tertentu. Kesan sejarawan yang dapat diibaratkan sebagai “katak dalam tempurung” mulai sekarang harus mulai ditinggalkan. Sejarawan harus dapat mengungkapkan sejarah sebenar-benarnya meskipun bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Mbak-mbak misterius di maskam UGM

Masih terngiang-ngiang sampai kini saat bertemu dengan mbak-mbak misterius di taman dekat tangga masjid kampus UGM waktu dini hari. Ketika itu aku masih ngekost di sebuah kampung yang dekat dengan masjid kampus UGM. kampung ni terletak di sebelah timur masjid.

Sudah menjadi kebiasaan aku selalu bangun pagi sekitar jam 3 pagi. Sebenarnya sih jam-jam segini masih ngantuk akan tetapi jika dipaksakan buat tidur pasti malah sakit kepala waktu bangunnya. Waktu yang masih sepi seperti ini aku gunakan buat pergi ke masjid kampus saja untuk sholat  malam dan menunggu saat shubuh tiba. Nah, pada suatu hari aku bangun jam setengah 3 pagi, mau tidur lagi tapi dah nanggung, jadi cuma geletakan di tempat tidur saja sampai jam tiga. jam tiga lebih sedikit aku mulai beranjak dari tempat tidur dan ke kamar mandi buat gosok gigi dan langsung menuju masjid kampus setelah mengunci kamar kos.

suasana kampung masih sangat sepi, apalagi bagian barat kampung adalah kebun kosong yang tidak ada lampu penerangan. Padahal ini jalan satu-satunya jika mau pergi ke masjid kampus. dengan kebulatan tekat aku coba untuk melangkahkan kaki meskipun ada rasa takut sedikit. setelah melewati jembatan kali mambu yang terkenal angker, aku menyeberang jalan kampus. aku tengok kanan dan kiri masih sepi sekali. udara pun lumayan dingin. sesampainya di pintu masuk masjid, pintu portal juga masih digembok, jalan satu-satunya untuk masuk dengan menerobos lewat bawah portal. ku bungkukkan badanku supaya bisa masuk dan akhirnya bisa masuk juga,,,,,,heeheheehe, kayak apaan aja nih.

halangan pertama pun berhasil dilalui, akan tetapi.................deng dereng deng deng. waktu aku bangkit dari membungkuk tadi, di depan ku kurang lebih 20 meter berdiri seorang perempuan dengan rambut yang terurai dan kelihatan memberikan senyum sinis ke arahku. perasaan sih dah gak karuan gitu, kalo mau pulang lagi naggung soalnya dah nyampai masjid juga. dengan keberanian yang aku kumpulkan, aku melangkah dengan santainya menuju tangga masjid dan sesampainya di masjid ku langsung wudhu dan sholat malam tanpa menghiraukan lagi mbak-mbak yang tadi.

setelah beberapa hari dari kejadian itu aku teringat kembali dengan sesosok mbak-mbak yang berdiri dan senyum sinis kepadaku. aku bergumam sedikit dengan mimik keheranan, kenapa jam 3 pagi ada mbak-mbak di luar rumah, sendirian lagi. yang anehnya lagi dia keliatan tinggi padahal jika orang biasa gak akan setinggi itu, apakah dia melayang? pertanyaan itu yang selalu aku pikirkan. sejak saat tu aku dah melupakan kejadian ni sampai sekarang. kejadian itu kira-kira tahun 2006 akhir. kompleks masjid kampus dulunya adalah makam china, jadi banyak sekali kisah-kisah horor yang mengitarinya. aku juga lupa bagaimana rupa wajah mbak-mbak nya itu karena waktu itu aku tergesa-gesa.