Berbicara
tentang sumber sejarah memang tidak akan pernah berhenti pada satu titik saja.
Sumber sejarah sendiri dapat dibagi menjadi sumber formal dan non formal.
Sumber formal dapat berupa laporan-laporan kolonial, arsip-arsip pemerintah,
dan semua dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah, sedangkan sumber non
formal berupa catatan harian, sejarah lisan, folklore, secarik kertas pun dapat
menjadi sumber sejarah bila di dalamnya termuat bukti-bukti sejarah yang
penting dan masih banyak lagi sumber non formal yang lain.
Dari
kedua sumber sejarah tersebut diatas ternyata penggunaan sumber non formal
belum dioptimalkan. Para sejarawan masih
sungkan atau enggan menggunakan sumber non formal tersebut. Fenomena ini memang
tidak dapat dipungkiri, karena sebagaian besar dari para sejarawan khususnya
para sejarawan akademisi lebih fokus pada penggunaan sumber formal dibandingkan
dengan non formal. Selain itu ada semacam anggapan bahwa catatan harian,
kisah-kisah perjalanan itu tidak memiliki nilai yang lebih, sehingga para
sejarawan cenderung mengesampingkan keberadaan mereka. Hal ini dapat dilihat
dari karya-karya sejarawan yang masih sangat sedikit yang mencantumkan catatan
harian, kisah perjalanan sebagai referensi karya-karya sejarahnya.
Apabila
dilihat dari nilainya sumber formal maupun sumber non formal memiliki nilai
yang sama-sama kuat. Sumber non formal dapat dijadikan sebagai pendukung atau
penguat dari sumber sejarah yang formal. Sebagai contoh misalnya pada saat
melakukan penelitian tentang perkebunan swasta di Jawa pada tahun 1890,
otomatis sumber formal seperti arsip pemerintah menjadi prioritas utama sebagai
sumber, namun apakah cukup hanya dengan melihat arsip yang terbatas
informasinya tersebut? Tentu saja tidak, para sejarawan harus paham bahwa
sumber non formal seperti catatan pribadi dari pemilik perkebunan perlu dilihat
juga, karena dapat dimungkinkan informasi yang lebih akurat berasal dari
catatan pribadi ini.
Sebagai
contoh lain, misalnya pada saat melakukan penelitian mengenai sejarah lokal
maka sumber-sumber non formal pasti diikutkan sebagai penguat atau pendukung
sumber formal. Seorang sejarawan ingin meneliti tentang Kerajaan Buleleng di
Bali misalnya, maka sejarawan tersebut tidak hanya melihat arsip-arsip kerajaan
yang berupa perjanjian-perjanjian saja, namun juga dapat melihat beberapa
sumber lain misalnya hukum adat yang dipakai, atau beberapa babad yang ada.
Hampir semua karya babad di Bali entah dari
Buleleng, Tabanan, Karang Asem atau daerah lain mempunyai data sejarah yang
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun ada hal–hal fiktif yang ditampilkan, akan
tetapi tidak mengubah nilai dari kisah sejarah dalam Babad tersebut. Seni tutur
yang di daerah lombok disebut ‘Pakepung’ juga dapat dijadikan sebagai sumber
sejarah karena di dalam seni tutur ini disampaikan sejarah lombok sejak
dikuasai Singasari di jawa sampai Karang Asem, bali timur.
Melalui
dekonstruksi sejarah ini, para seajarawan harus mulai sadar bahwa sumber
sejarah itu ada dimana-mana, tidak hanya sumber formal yang resmi dikeluarkan
pemerintah, namun juga sumber lokal yang tidak resmi pun dapat dijadikan
sebagai sumber sejarah. Selain itu buku harian dari seseorang perwira, pegawai
pemerintah atau rakyat kebanyakan pun dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Sejarah
lisan juga jangan sampai dikesampingkan karena meskipun sering ada nilai
kesubjektifan yang muncul tetap saja menjadi sumber data yang penting dalam
mengungkap kejadian-kejadian atau peristiwa sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar