Minggu, 05 Agustus 2012

SUMBER NON FORMAL DALAM PENELITIAN SEJARAH


Berbicara tentang sumber sejarah memang tidak akan pernah berhenti pada satu titik saja. Sumber sejarah sendiri dapat dibagi menjadi sumber formal dan non formal. Sumber formal dapat berupa laporan-laporan kolonial, arsip-arsip pemerintah, dan semua dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah, sedangkan sumber non formal berupa catatan harian, sejarah lisan, folklore, secarik kertas pun dapat menjadi sumber sejarah bila di dalamnya termuat bukti-bukti sejarah yang penting dan masih banyak lagi sumber non formal yang lain.
Dari kedua sumber sejarah tersebut diatas ternyata penggunaan sumber non formal belum dioptimalkan. Para sejarawan masih sungkan atau enggan menggunakan sumber non formal tersebut. Fenomena ini memang tidak dapat dipungkiri, karena sebagaian besar dari para sejarawan khususnya para sejarawan akademisi lebih fokus pada penggunaan sumber formal dibandingkan dengan non formal. Selain itu ada semacam anggapan bahwa catatan harian, kisah-kisah perjalanan itu tidak memiliki nilai yang lebih, sehingga para sejarawan cenderung mengesampingkan keberadaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya sejarawan yang masih sangat sedikit yang mencantumkan catatan harian, kisah perjalanan sebagai referensi karya-karya sejarahnya.
Apabila dilihat dari nilainya sumber formal maupun sumber non formal memiliki nilai yang sama-sama kuat. Sumber non formal dapat dijadikan sebagai pendukung atau penguat dari sumber sejarah yang formal. Sebagai contoh misalnya pada saat melakukan penelitian tentang perkebunan swasta di Jawa pada tahun 1890, otomatis sumber formal seperti arsip pemerintah menjadi prioritas utama sebagai sumber, namun apakah cukup hanya dengan melihat arsip yang terbatas informasinya tersebut? Tentu saja tidak, para sejarawan harus paham bahwa sumber non formal seperti catatan pribadi dari pemilik perkebunan perlu dilihat juga, karena dapat dimungkinkan informasi yang lebih akurat berasal dari catatan pribadi ini.
Sebagai contoh lain, misalnya pada saat melakukan penelitian mengenai sejarah lokal maka sumber-sumber non formal pasti diikutkan sebagai penguat atau pendukung sumber formal. Seorang sejarawan ingin meneliti tentang Kerajaan Buleleng di Bali misalnya, maka sejarawan tersebut tidak hanya melihat arsip-arsip kerajaan yang berupa perjanjian-perjanjian saja, namun juga dapat melihat beberapa sumber lain misalnya hukum adat yang dipakai, atau beberapa babad yang ada. Hampir semua karya babad di Bali entah dari Buleleng, Tabanan, Karang Asem atau daerah lain mempunyai data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun ada hal–hal fiktif yang ditampilkan, akan tetapi tidak mengubah nilai dari kisah sejarah dalam Babad tersebut. Seni tutur yang di daerah lombok disebut ‘Pakepung’ juga dapat dijadikan sebagai sumber sejarah karena di dalam seni tutur ini disampaikan sejarah lombok sejak dikuasai Singasari di jawa sampai Karang Asem, bali timur.

Melalui dekonstruksi sejarah ini, para seajarawan harus mulai sadar bahwa sumber sejarah itu ada dimana-mana, tidak hanya sumber formal yang resmi dikeluarkan pemerintah, namun juga sumber lokal yang tidak resmi pun dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Selain itu buku harian dari seseorang perwira, pegawai pemerintah atau rakyat kebanyakan pun dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Sejarah lisan juga jangan sampai dikesampingkan karena meskipun sering ada nilai kesubjektifan yang muncul tetap saja menjadi sumber data yang penting dalam mengungkap kejadian-kejadian atau peristiwa sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar